Saat ini kebanyakan jamu yang dijajakan oleh penjual keliling atau bakul jamu gendong adalah jamu yang sudah jadi atau sudah dibuat sebelumnya dan dituang dalam kemasan botol atau orang Jawa menyebutnya dengan gendul. Begitu ada pembeli, jamu tinggal dituang ke dalam gelas untuk diminum oleh pembeli. Begitulah tuntutan kepraktisan dalam kehidupan modern, termasuk dalam menikmati jamu.
Meneguk segarnya jamu tradisional yang disodorkan langsung oleh pembuatnya dalam wadah yang terbuat dari tempurung kelapa pastilah menjadi pengalaman langka. Bersyukurlah warga Jogja selatan karena masih mudah untuk mendapatkan dan menikmati jamu segar semacam ini. Jamu ini baru diperas dari bahannya berdasarkan pesanan pembeli. Penjualnya seorang ibu tengah umur yang mangkal di Krapyak, tidak jauh dari Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum. Jika dari arah plengkung Gading, kita lurus saja ke arah selatan (Jalan Ali Maksum) sampai ketemu pertigaan Jalan Dongkelan. Lokasinya berada beberapa meter sebelum pertigaan, tepatnya di trotoar sisi kanan jalan atau satu sisi dengan pondok pesantren.
Harga yang dibandrol cukup reasonable. Beras kencur Rp. 3.500,-, kunir asem Rp. 3.000,-, cabe puyang Rp. 6.500,-. Ada juga jamu uyup-uyup ( untuk meningkatkan produksi air susu ibu pada ibu yang sedang menyusui), namun saya belum pernah mencicipi karena saya tidak akan pernah menyusui. Tukang becak dan pekerja bangunan biasanya berkunjung untuk membeli jamu pegel linu yang dikasih campuran anggur kolesom dan telur ayam kampung.
Foto-foto di atas diambil pada 30 Juni 2012, sedangkan dua foto di bawah ini diambil pada 28 April 2012 :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar