Selasa, 24 Juli 2012

KRL Ekonomi adalah Kereta Seadanya dan Penuh Bahaya



Mogoknya KRL Jabodetabek terbukti bisa menimbulkan kekacuan dan menelantarkan ribuan penumpang. Tengok saja kejadian mogoknya KRL Ekonomi menjelang masuk Stasiun Tanjung Barat pada 7 Juni 2012 yang lalu. KRL mogok pagi hari sekitar pukul 06.15 WIB. Alhasil, ribuan penumpang mengalami keterlambatan masuk kerja hingga dua sampai tiga jam, baik penumpang KRL Ekonomi maupun KRL Commuter Line. Penumpang yang sudah telanjur dalam perjalanan KRL hanya bisa mengumpat serta mengucapkan sumpah serapah yang tidak mengubah keadaan pagi itu menjadi lebih baik.
KRL yang mogok pun akhirnya dikandangkan dan mulai keesokan harinya jadwal yang sebelumnya dilayani oleh KRL Ekonomi yang mogok tersebut  diganti dengan KRL Commuter Line. Sebuah keputusan yang diambil dengan cepat oleh Direktur PT Kereta Api (KA). Lebih jauh Direktur PT KA menyampaikan bahwa kondisi KRL Ekonomi memang sudah tua dan potensial mengalami gangguan. Untuk memperbaikinya pun bukan perkara mudah karena suku cadang sudah tidak tersedia, atau kalaupun ada pengirimannya makan waktu lama.

Jika kita cermati, kondisi KRL Ekonomi Jabodetabek yang saat ini beroperasi merupakan kereta yang seadanya, terkesan dipaksakan untuk beroperasi untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok masyarakat menengah ke bawah. Mari kita lihat satu per satu gambaran yang mempertegas bahwa KRL tersebut merupakan KRL seadanya.
Mulai dari pintu, tak satupun pintu buka tutup yang berfungsi. Sekian dasa warsa yang lalu saya masih menikmati KRL yang pintunya bisa terbuka tertutup secara otomatis meski itu KRL Ekonomi. Saat ini semuanya melompong alias terbuka lebar-lebar sehingga luberan penumpang pasti bergelantungan di pintu. Luberan penumpang terjadi karena rasio perjalanan dengan jumlah penumpang tidak sebanding. Keadaan ini diperparah oleh pemangkasan jumlah perjalanan KRL Ekonomi semenjak PT KA menerapkan single operation, bersamaan dengan beroperasinya KRL Commuter Line.
Bagaimana dengan jendela? Tidak sedikit jendela yang juga melompong. Kita bisa jumpai juga lantai gerbong yang mengelupas, bahkan berlubang, meski jumlahnya tidak banyak. Hal yang sepele namun sangat dibutuhkan adalah pegangan tangan. Fasilitas ini pada sebagian besar kereta tidak ada. Dalam keadaan penuh penumpang dan kereta bergerak, lebih-lebih pada posisi belokan, hentakan dan guncangan menyebabkan penumpang tidak dapat menjaga keseimbangan sehingga penumpang bisa terdorong bahkan tersungkur. Bukan bermaksud melebih-lebihkan karena memang demikianlah keadaanya ketika berdiri tegak saja susah, apalagi ketika ditambah tidak ada pegangan tangan.
KRL ini juga dijuluki KRL Ekonomi Panas oleh komunitas penggunanya. Julukan yang menggambarkan betapa panasnya berada dalam KRL Ekonomi, kendati kereta sedang berjalan. Hembusan angin dari luar nyaris tidak ada artinya karena sebagian besar kipas angin hanya berfungsi sebagai hiasan alias tidak berfungsi sama sekali. Hanya beberapa kipas angin yang masih menunjukkan kegenitannya dengan berlenggak-lenggok berputar meski putarannya terlihat terseok-seok dan berisik, tak mau kalah dengan berisiknya bunyi gesekan roda kereta dengan rel. Beberapa penumpang bahkan menjadi korban karena tersambar dan tergilas jarinya hingga berlumuran darah oleh kipas angin yang sudah tidak memiliki penutup. Hal ini terjadi biasanya saat kereta mengalami guncangan dan tidak tersedia pegangan tangan di atas atau tempat bagasi. Refleks tubuh membuat tangan penumpang secara otomatis mencari pegangan agar tidak terjatuh. Tanpa disadari, tangan langsung memegang kipas angin di atas kepala yang sedang berputar.  
Dengan makin minimnya jumlah KRL Ekonomi Jabodetabek yang dioperasikan PT KA, maka makin luar biasa padatnya penumpang yang masuk dalam kereta, belum termasuk yang berada di atas gerbong yang sudah menjadi pemandangan rutin. Dengan kondisi KRL yang seadanya, nyaris tidak akan ada kenyamanan yang diperoleh dalam perjalanan. Yang ada malahan bahaya yang siap mengancam penumpang, mulai dari pingsan karena berdesakan dan kurang oksigen, panas serasa terpanggang, terinjak-injak (utamanya bagi anak kecil) jemari tersambar kipas angin, sampai dengan bahaya yang taruhannya adalah nyawa, yaitu terlempar keluar dari pintu saat kereta berjalan.
Semoga kondisi di atas tidak semakin bertambah parah dan memakan banyak korban. Kita berharap ke depan transportasi publik seperti KRL akan semakin baik.
Note: ilustrasi  foto di atas diambil di Stasiun Poncok Cina pada 23 Juli 2012.

Minggu, 15 Juli 2012

Pangkas Rambut pun Panen Rejeki

Tahun ajaran baru membawa keberuntungan, bukan hanya bagi penjual baju seragam sekolah maupun alat tulis. Menyiapkan hari pertama tahun ajaran baru Senin besok (16 Juli 2012), sebagian orang tua sudah membelikan baju seragam baru dan buku tulis baru. Lihat saja di gerbong KRL ekonomi Jabodetabek, penjual asongan buku tulis mendorong gerobaknya dan menawarkan lusinan buku tulis dalam tiga minggu terakhir.
Yang mungkin luput dari perhatian kita adalah tukang pangkas rambut. Sejak pagi hingga malam hari ini (Minggu, 15 Juli 2012) sejumlah tukang pangkas rambut di sepanjang Jalan H. Asmawi dan Jalan H. Usman kawasan Kukusan Depok kebanjiran pengunjung. Sebagian besar adalah anak-anak siswa sekolah dasar, tidak sedikit di antaranya bahkan diantar dan ditunggui oleh orang tuanya. Momen yang kelihatannya sepele, namun bepeluang untuk memperkuat ikatan batin antar anak dengan orang tua, dan yang pasti akan tertanam dalam ingatan si anak. Mereka umumnya memanfaatkan hari terakhir libur panjang sekolah, agar besok pagi berpenambilan rapi di hari pertama masuk sekolah. Fenomena yang sepertinya sudah mulai terlihat sejak beberapa tahun terakhir, terutama di kawasan yang dihuni oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.
Tukang pangkas rambut pun boleh tersenyum meski kelelahan tiada henti melayani pengunjung sejak membuka kiosnya di pagi hari tadi. Dengan tarif terjangkau (rata-rata Rp. 7.000,-) mereka bisa menyenangkan para orang tua dan anak, sekaligus mendapatkan limpahan rejeki. Pantaslah kita syukuri keberadaan tukang pangkas rambut ini, melengkapi salon-salon modern yang juga tumbuh di berbagai tempat.


Jumat, 13 Juli 2012

Transportasi selepas Bandara Jogja

Bila anda tiba di Bandara Adisucipto Jogja dan tidak menggunakan kendaraan pribadi, maka selain taksi yang siap menunggu di pintu keluar kedatangan, anda bisa pula menggunakan kereta api Prambanan Ekspres (Prameks) atau bus Damri. Untuk menggunakan keduanya, maka jalur yang kita lalui adalah melalui underground atau lorong yang berada di bawah rel kereta api. Gerbang underground dan lorong yang akan kita lewati tanda-tandanya seperti foto di bawah ini.










Begitu keluar dari underground, anda bisa belok ke kanan bila akan menggunakan bus Damri, atau belok kiri ke Stasiun Meguwo bila sarana kereta api yang akan kita pilih. Seperti inilah tanda-tandanya:














Seluruh foto di atas diambil pada hari Sabtu (30 Juni 2012).

Berjubelnya Imigrasi Terminal 3 Bandara Soeta

Maraknya budget airlines telah memacu masyarakat untuk bepergian menggunakan pesawat udara. Dihapuskannya biaya fiskal beberapa tahun silam juga membuat orang tidak perlu berpikir panjang untuk sekedar jalan-jalan ke luar negeri. Maka, kesibukan orang berlalu lalang di titik simpul moda transportasi menjadi pemandangan yang lumrah, utamanya bandara. Terminal 3 Bandara Soeta yang konon paling baru, termodern, dan hanya digunakan oleh sedikit perusahaan airlines tak luput dari kepadatan penumpang yang hendak bepergian.
Padat dan sibuk, setidaknya itulah kesan yang ditimbulkan dari pengamatan Terminal 3 pada hari Sabtu (30 Juni 2012) sekitar pukul 12.00 – 14.00 WIB. Kepadatan di ini hendaknya  mulai diwaspadai dan diantisipasi oleh calon penumpang. Antrian yang panjang sudah mulai di tempat check in bagasi, baik domestic maupun internasional. Hal yang sama juga berlangsung di counter imigrasi sebelum memasuki ruang tunggu. Di tempat ini antrian tidak mungkin panjang karena terbatasnya area, namun menjadi antrean yang mengular berlapis-lapis. Foto di bawah ini menggambarkan berjubelnya antrian untuk pemeriksaan keimigrasian. Butuh waktu yang lama untuk menyelesaikan ritual wajib sebelum masuk ruang tunggu keberangkatan.




Mencermati kondisi tersebut, kita sebaiknya kita berjaga-jaga untuk datang jauh lebih awal agar tidak tertinggal oleh pesawat yang akan membawa kita bepergian. Semoga pihak pengelola bandara juga sudah mulai berpikir untuk memperbaiki pelayanannya sehingga waktu tunggu bagi penumpang tidak terlalu lama, terlebih bagi keluarga yang membawa anak-anak balita yang kemungkinan akan rewel karena bosan dalam penantian.

Kamis, 12 Juli 2012

Renyahnya Belalang Goreng Jogja

Dalam Injil Mateus 3: 4 disebutkan bahwa Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan. Rupanya belalang sudah menjadi makanan manusia sejak jaman dahulu kala. Di jaman modern ini kitapun masih bisa menikmatinya tanpa harus berkeliaran ke dalam rimba belantara atau menelusup ke sawah ladang untuk menangkap belalang. Beli saja dalam kemasan jadi seperti yang saya lakukan saat ke Jogja 30 Juni 2012. Bentuknya kira-kira seperti ini:



 


Dari sekian banyak toko oleh-oleh di sepanjang jalan menuju bandara Jogja hanya saya temukan di  satu tempat saja yaitu toko Java. Lokasinya di Jalan Laksda. Adisucipto km. 8,5, telpon (0274) 484185. Harga untuk satu stoples Rp. 43.000,-




Menurut saya, belalang ini rasanya gurih dan renyah-ringan, lebih ringan daripada kerupuk. Sensasi kriuk terasakan saat kita menguyah kaki-kaki belalang. Tak kalah nikmatnya saat kita menggingit bagian kepala dan matanya. Bumbu yang dipakai dalam penggorengan belalang menurut saya menentukan derajat kelezatan makanan ringan ini. Bila digoreng atau dibakar begitu saja, rasanya pasti tidak akan senikmat yang sudah dibumbui sebelumnya.


Sekalian belanja di tempat itu, saya juga memebeli bekicot goreng seharga Rp. 18.000,- sebungkus. Untuk bekicot ini masih ada rasa kasap-kasap sepet saat kita mengunyahnya. Dugaan saya, ini karena bekicot direndam dulu dalam air batu kapur (gamping) untuk membersihkan lendirnya sebelum dimasak.

Tertarik mencicipi belalang goreng dan bekicot goreng? Silakan saja untuk mencobanya.

Selasa, 10 Juli 2012

Segarnya Jamu Tradisional Jogja

Saat ini kebanyakan jamu yang dijajakan oleh penjual keliling atau bakul jamu gendong adalah jamu yang sudah jadi atau sudah dibuat sebelumnya dan dituang dalam kemasan botol atau orang Jawa menyebutnya dengan gendul. Begitu ada pembeli, jamu tinggal dituang ke dalam gelas untuk diminum oleh pembeli. Begitulah tuntutan kepraktisan dalam kehidupan modern, termasuk dalam menikmati jamu.

Meneguk segarnya jamu tradisional yang disodorkan langsung oleh pembuatnya dalam wadah yang terbuat dari tempurung kelapa pastilah menjadi pengalaman langka. Bersyukurlah warga Jogja selatan karena masih mudah untuk mendapatkan dan menikmati jamu segar semacam ini. Jamu ini  baru diperas dari bahannya berdasarkan pesanan pembeli. Penjualnya seorang ibu tengah umur yang mangkal di Krapyak, tidak jauh dari Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum. Jika dari arah plengkung Gading, kita lurus saja ke arah selatan (Jalan Ali Maksum) sampai ketemu pertigaan Jalan Dongkelan. Lokasinya berada beberapa meter sebelum pertigaan, tepatnya di trotoar sisi kanan jalan atau satu sisi dengan pondok pesantren.

Harga yang dibandrol cukup reasonable. Beras kencur Rp. 3.500,-, kunir asem Rp. 3.000,-, cabe puyang Rp. 6.500,-. Ada juga jamu uyup-uyup ( untuk meningkatkan produksi air susu ibu pada ibu yang sedang menyusui), namun saya belum pernah mencicipi karena saya tidak akan pernah menyusui. Tukang becak dan pekerja bangunan biasanya berkunjung untuk membeli jamu pegel linu yang dikasih campuran anggur kolesom dan telur ayam kampung.





Penjual jamu ini buka hanya sebentar, sekitar pukul empat sore sampai pukul tujuh malam. Bila berminat, silakan menyempatkan diri untuk berkunjung di waktu buka yang sesingkat itu. Bersiaplah untuk antri cukup lama meski hanya memesan seporsi jamu karena pengunjung datang silih berganti tiada henti. Jika tidak ingin minum di tempat, kita bisa meminta untuk dikemas dalam kantong plastik.

Foto-foto di atas diambil pada 30 Juni 2012, sedangkan dua foto di bawah ini diambil pada 28 April 2012 :